Blogroll

[ X ] Close

Minggu, 30 Oktober 2011

Ngompol bikin cerdas

Sewaktu masih punya bayi, sempat juga terpikir untuk menyingkirkan popok kain. Buat ibu yang masih belum fit setelah bersalin, popok sekali pakai untuk si kecil amatlah membantu. Cucian jadi tidak menumpuk terlalu tinggi, mengganti popok tak mesti dilakukan setiap kali si bayi pipis, dan kenyamanan tidur kita serta bayi pun nyaris tanpa gangguan.

Namun saya berpikir lagi soal biaya. Kalau dihitung-hitung, sayang juga uang ratusan ribu habis setiap bulan hanya untuk menampung kotoran si kecil. Ah, beginilah kalau seorang ibu berhitung anggaran belanja; kesimpulannya, popok kain jelas lebih ekonomis. Tapi saya berpikir lagi, kalau memang ada anggarannya mengapa tidak, ya? Saya capek bolak-balik mengganti popok bayi yang basah, apalagi di malam hari karena sepulang bekerja saya sudah lelah dan ngantuk sekali... belum lagi urusan nyuci dan nyetrika baju si kecil..., ya enggak apa-apa deh sebagian gaji saya dan suami habis untuk beli pospak. Yang penting kami dan si bayi sama-sama nyaman.

Untungnya, kesimpulan itu tidak membuat saya berhenti berpikir soal dampak pemakaian pospak 24 jam. Rasanya ada yang kurang kalau bayi tidak kenal popok kain sama sekali. Seperti ada yang hilang dari dunianya yang serbabaru. Tapi apakah yang hilang itu? Saya mencoba mencari jawaban. Lalu saya sampai pada sebuah pertanyaan, "Apa jadinya kalau bayi tidak pernah sadar dirinya ngompol?"

KESEMPATAN BELAJAR

Benar saja, seorang psikolog perkembangan yang saya temui mengatakan, kalau bayi tidak merasa mengompol karena selalu pakai pospak, ia jadi kehilangan kesempatan belajar kenal tanda-tanda mau buang air kecil (BAK) dan keinginan untuk mengendalikannya hingga tiba di tempat yang semestinya, yakni toilet.

Kita sama-sama tahu, bayi mungil belum memiliki kemampuan mengontrol pembuangannya, baik pipis maupun pup. Kemampuan mengontrol buang air besar (BAB), rata-rata dimulai pada usia 6 bulan. Sedangkan kemampuan mengontrol BAK berkisar antara 15-16 bulan. Umumnya bayi yang berusia kurang dari 6 bulan akan BAK setiap 1-2 jam sekali. Memasuki usia 6 bulan ke atas, frekuensi tersebut mulai berkurang.

Sayangnya, tak semua orangtua menyadari bahwa mengompol pada bayi memberikan banyak manfaat untuk tumbuh kembangnya kelak. Tak perlu khawatir bahwa mengompol akan mengganggu tidur si bayi, karena umumnya setelah diganti popok dan alasnya, ia akan tertidur kembali.

Memang, tidur berpengaruh pada perkembangan fisik dan otak bayi. Pada masa tidur itulah tubuhnya aktif memperbaiki sel-sel otak yang rusak dan memproduksi sekitar 75% hormon pertumbuhan. Namun patut diingat, umumnya bayi tidak memiliki masalah tidur, ia bisa cepat tertidur pulas kembali setelah ngompol.

RASA PERCAYA

Apa saja yang dipelajari bayi ketika popok atau celananya basah? Karena merasa tidak nyaman, tentu si bayi menangis mengungkapkan perasaannya. Eh ternyata tangisannya membuat orang-orang memberikan respons yang baik, yakni membersihkan dan mengeringkan kulitnya, mengganti popoknya yang basah, dan menukar alas tempat tidurnya dengan yang wangi. Alhasil, tumbuh kepercayaan dalam diri bayi bahwa ia disayang dan diterima oleh lingkungan. Terbukti, orang-orang yang ada di sekitarnya selalu bersedia membantu dan membuatnya merasa nyaman. Nah, stimulasi inilah yang mampu menumbuhkan rasa percaya dalam dirinya kelak.

Selanjutnya rasa percaya ini akan berkaitan dengan kemampuan dirinya dalam mengendalikan "dunia". Maksudnya, setelah besar, ia akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan mana pun karena dirinya memiliki pengalaman yang menyenangkan semasa bayi, yakni diterima dan disayangi. Niscaya ia pun akan berusaha menerima orang lain dan menyesuaikan diri di mana pun berada.

LEBIH PEKA

Selain menumbuhkan rasa percaya terhadap orang lain, dengan mengompol bayi juga mengembangkan kemampuannya memahami sesuatu. Persepsi pertama si bayi diperoleh melalui penjelasan sensorik; bayi memandang, meraba, mencium bau, dan mengecap semua objek yang dapat dijangkaunya.

Demikian pula dengan mengompol, saat air kencing mem-basahi popoknya, ia akan memusatkan perhatiannya pada air yang membasahi popoknya. Kulit di sekitar paha dan kelaminnya merasakan bahwa air kencing yang dikeluarkan terasa hangat kemudian dingin, selanjutnya terasa basah dan tidak nyaman.

Serangkaian tahapan mengom-pol itu mengajarkan kepada si bayi untuk menafsirkan pengalaman yang baru dialaminya. Basah di wilayah kemaluan dan paha rasanya sangat tidak nyaman. Si bayi lalu menunjukkan ketidaknyamanan itu dengan mengangkat kakinya atau menangis, dan tentunya akan mendapat tanggapan dari orang-orang yang ada di sekitarnya dengan mengganti popok yang dipakainya.

Bayi memulai kehidupan tanpa mengerti segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Bayi memperoleh pengertian mengenai apa yang diamatinya melalui pengalaman dan ini juga bergantung pada tingkat kecerdasan si bayi. Melalui pengalaman mengompol itulah, bayi belajar tentang konsep basah, hangat, dan tidak nyaman. Pada saat inilah kepekaan bayi terasah, yang selanjutnya dinyatakan dalam sebuah reaksi yakni mengangkat kakinya atau menangis. Secara tak langsung pula bayi sudah mempelajari sebuah hubungan sebab akibat; bila ia mengompol, agar popok atau celananya diganti maka ia harus menangis untuk mencari per-hatian orang-orang di sekitarnya.

CERDAS EMOSI

Kegiatan mengompol juga dapat menjadi sarana mengembangkan atau menumbuhkan kecerdasan emosi bayi. Ini dapat terjadi bila ada interaksi dengan lingkungan. Maksudnya, saat bayi mengompol, hendaknya kita juga memberikan reaksi berupa ajakan bercakap-cakap. Misal, "Oh, Adek ngompol ya. Ndak enak ya Dek kalau basah. Ayo, Mama ganti dulu popoknya." Dengan begitu, bayi makin paham bahwa memang basah itu tidak enak dari reaksi yang kita katakan berikut tindakan mengganti popoknya.

Sebaliknya, tujuan mengem-bangkan atau menumbuhkan kecerdasan emosi ini tidak akan tercapai bila si bayi tidak mendapatkan reaksi dari orang-orang di sekitarnya. Umpama, tetap di-biarkan basah dan tidak digantikan popoknya, sehingga si bayi menganggap kegiatan mengompol yang baru dialaminya sebagai sesuatu yang biasa saja.

Nah, itulah penjelasan yang membuat saya yakin, bahwa popok dan celana kain ternyata tak perlu disingkirkan. Di rumah, saya tetap memberi kesempatan kepada si kecil untuk ngompol. Barulah kala bepergian dengan-nya, seperti ke dokter atau di perjalanan menuju ke rumah eyangnya, saya mengandalkan si penolong yang praktis: tisu basah dan popok sekali pakai yang antibocor. Sesekali pakai pospak tidak mengapa, kok. Toh, itu tidak menghilangkan kesempatannya belajar dari si ompol. Yang jelas saya jadi lega, ter-nyata kerepotan bolak-balik ganti popok ada gunanya.

GANGGU TIDUR?

Selama tahun pertama, kebutuhan akan tidur malam pada bayi rata-rata meningkat dari 8 1/2 jam pada 3 minggu pertama menjadi 10 jam pada 12 minggu pertama dan selanjutnya tetap konstan selama sisa tahun tersebut. Seperti yang dikutip dari Psikologi Perkembangan karya Elizabeth B. Hurlock, sepanjang tahun pertama, siklus bangun-tidur selama kira-kira satu jam terjadi baik pada waktu tidur siang maupun malam, dengan tidur lelap hanya kira-kira 23 menit. Jadi, mengganti popok dan membersihkan alas tidur yang hanya memakan waktu 5-10 menit tidak akan mengganggu kualitas


Masalah anak suka ngompol sebenarnya kita kembalikan ke diri kita masing-masing sebagai orang tua apakah sudah memberikan efforts lebih utk melatih BAK/BAB, yaitu:
"Apakah kita mau tengah malam yang lagi ngantuk-ngantuknya bangun trus kita pipisin anak-anak? dan membiasakan mereka untuk tidak pipis sembarangan?"

Sebenarnya kalau kita jujur dg diri sendiri, kadang kitanya yang malas dan kuatir kalau anak kita sering ngompol di celana, apalagi kalau pergi, misalnya ke mal yang kalau mereka mau pipis kita udah kelabakan takut mereka ngompol sebelum sampai di toilet yang mungkin jaraknya jauh, hal itu membuat kita selalu protect anak-anak kita dengan diapers.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Mashoda
Theme by Yusuf Fikri